8 Modus sindikat pengemis tipu para Dermawan
Pendapatan seorang pengemis ternyata sungguh menggiurkan. Makanya tak heran jika banyak orang dari daerah berbondong-bondong ke Ibu Kota hanya untuk mengharapkan belas kasih dari sesama.
Berdasarkan data Suku Dinas Sosial Jakarta Selatan, dalam sehari, pengemis di Jakarta bisa mengantongi penghasilan sekitar Rp 750 ribu hingga Rp 1 juta. Namun, untuk yang tingkat kasihannya standar berpenghasilan Rp 450 ribu hingga Rp 500 ribu.
Dengan begitu, banyak cara-cara dilakukan para pengemis untuk mendapat simpati. Ada juga yang tampil sedemikian menyedihkan, sampai mereka harus berbohong dengan menampilkan kondisi tubuh yang tidak sempurna.
Belakangan, terbongkar aksi pengemis di sejumlah wilayah dengan berpura-pura hamil dan buta. Kuat dugaan jika mereka merupakan sindikat yang pola beroperasinya memang sudah terorganisir.
Berikut modus-modus pengemis untuk menarik simpati masyarakat:
1. Koreng dikasih terasi
Para Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) pun rela membuat luka bohongan di bagian tubuhnya guna mendapat iba pengendara di jalan. Agar terkesan busuk, koreng bohong itu dipakaikan terasi.
"Jadi mereka menyampurkan terasi dan obat merah," ujar Kepala Seksi Rehabilitasi Suku Dinas Sosial Jakarta Selatan, Miftahul Huda.
Miftah menuturkan, terasi bertujuan untuk mengundang lalat ke arah 'koreng' buatan mereka. "Biar terkesan itu luka sudah busuk dan butuh biaya untuk berobat. Kalau obat merah tentu saja biar terkesan berdarah," paparnya.
2. Pura-pura hamil
Berbagai cara dihalalkan beberapa orang untuk tetap bisa menyambung hidup di Ibu Kota. Salah satunya pengemis wanita yang beraksi di perempatan lampu merah dengan berpura-pura sedang hamil.
"Dari pengaduan masyarakat banyak wanita hamil yang mengemis di perempatan dan pinggir jalan. Padahal yang ada di balik bajunya itu bantal. Makanya kita sebar petugas untuk menertibkannya," ujar Kepala Seksi Rehabilitasi Suku Dinas Sosial Jakarta Selatan, Miftahul Huda, Selasa (25/6).
Modus tersebut, lanjut Miftahul, kerap digunakan oleh pengemis yang biasa beroperasi di kawasan Mampang Prapatan. "Alasannya itu untuk biaya melahirkan, karena sudah masuk bulannya," terang Miftahul.
3. Tangan pura-pura buntung
Modus lainnya lagi yang digunakan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) di jalanan Ibu Kota, yakni dengan berpura-pura tangannya buntung. Hal itu terungkap karena setelah diperiksa tangannya dilipat pakai tali ke belakang.
"Pernah kita temui laki-laki yang tangannya pura-pura buntung. Ya ada yang talinya dililit ke perut biar tangannya nggak pegel juga dilipet kelamaan begitu," ujar Kepala Seksi Rehabilitasi Suku Dinas Sosial Jakarta Selatan, Miftahul Huda.
4. Sekeluarga tidur di gerobak
'Manusia gerobak'. Sebutan itu kerap muncul saat bulan suci Ramadan. Biasanya pengemis selama satu bulan mencari nafkah, dan sehari-hari mereka tidur di gerobak bersama keluarganya.
"Kalau di bulan puasa itu biasanya lebih banyak PMKS gerobak," terang Kepala Seksi Rehabilitasi Suku Dinas Sosial Jakarta Selatan, Miftahul Huda.
PMKS gerobak, kata dia, tidak lain ialah para pengemis yang biasa mengangkut keluarga mereka dengan menggunakan gerobak. "Biasanya si ayah yang menarik gerobak lalu di dalam gerobak itu ada istri dan juga anak-anak mereka," paparnya.
Lokasi yang kerap dijadikan para PMKS gerobak 'mangkal' biasanya di sepanjang jalan Fatmawati, Pondok Indah, Mampang Prapatan dan Gatot Subroto. Oleh sebab itu Miftah berharap para pengendara tidak sembarangan memberi uang kepada mereka.
"Karena itu juga berbahaya. Tidak jarang kasus kecelakaan lalu lintas disebabkan pengendara yang memberi uang kepada para pengemis di jalan," paparnya.
5. Pura-pura buta
Memiliki tubuh sempurna, tetapi tidak disyukuri. Hanya untuk mendapat belas kasih, ada pengemis yang berpura-pura tidak bisa melihat.
"Ada yang berpura-pura buta," ujar Kepala Seksi Rehabilitasi Suku Dinas Sosial Jakarta Selatan, Miftahul Huda.
Untuk itu, Miftahul mengimbau kepada masyarakat yang ingin memberikan sumbangan menyalurkan ke tempat yang tepat.
"Dengan menyalurkan ke badan zakat yang resmi, akan disalurkan ke yang berhak menerimanya. Dan secara otomatis ini mengurangi pengemis, karena tidak ada yang mau memberi di jalan," katanya.
6. Orangtua suruh anak ngemis
Anak kecil menjadi cara ampuh bagi pengemis untuk mendulang rupiah. Dengan membawa anak-anak itu warga akan semakin iba sehingga dengan ikhlas akan memberikan uang.
"Ibu-ibu yang mengemis dengan membawa anaknya," ujar Kepala Seksi Rehabilitasi Suku Dinas Sosial Jakarta Selatan, Miftahul Huda saat ditemui di kantornya, Selasa (25/6).
Cara seperti ini, kata Miftahul, memang sengaja digunakan oleh para orangtua. Kadang anak sengaja didandani semiris mungkin, lalu disuruh mengemis.
"Baju anaknya dibuat secompang camping mungkin. Lalu disuruh muter di lampu merah. Itu banyak kita temui di Fatmawati," ucap Miftah.
Parahnya, jika si anak tidak membawa hasil yang memuaskan kepada orang tuanya, mereka kerap mendapat makian hingga kekerasan fisik.
"Ya kalau dapatnya sedikit, omongan Ragunan buat anaknya. Orangtuanya juga suka nyubitin sampai memukul. Itu ada orangtua kandung, ya ada juga bukan orang tuanya tapi karena itu anak ibaratnya sudah dipelihara jadinya harus nurut," papar Miftah.
7. Dorong nenek sakit
Selain pura-pura buta dan hamil, cara lain yang kerap digunakan adalah dengan membawa nenek saat mengemis. Agar lebih dramatis, sang nenek ditampilkan dalam kondisi tidak sehat.
"Selain ibu hamil, ada yang mendorong nenek sakit," kata Kepala Seksi Rehabilitasi Suku Dinas Sosial Jakarta Selatan, Miftahul Huda.
Menurutnya, petugas akan semakin gencar melakukan razia, terlebih akan memasuki bulan Ramadan. "Iya, nanti jelang bulan puasa, saat bulan puasa bahkan setelah bulan puasa kita akan lebih sering razia. Jumlah personel juga ditambah," terangnya.
8. Luka didramatisir
Suku Dinas Sosial Jakarta Selatan juga mencatat modus yang dipakai Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) dengan mendramatisir cacat yang dimiliki.
"Ada beberapa pengemis yang memang memiliki cacat dari kecil, misalnya waktu kecil dia pernah kesiram air panas atau luka seperti itu," kata Kepala Seksi Rehabilitasi Suku Dinas Sosial Jakarta Selatan, Miftahul Huda.
"Nah, kemudian cacat permanen yang mereka punya itu didramatisir dengan cara saat mengemis mereka menunjukkan bekas luka tersebut. Dan seolah-olah luka itu baru didapat," paparnya.
Sumber : merdeka.com
Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5
1 komentar:
Seperti kata pemerintah.. peduli bukan berarti memberi.. lebih baik uangnya kita sedekahkan di panti asuhan atau untuk tetangga yang benar2 membutuhkan
Posting Komentar